Pembimbingan Panjang Menuju "Accepted"

Untuk maju kita harus berani menghadapi apapun tanpa rasa takut yang tak beralasan. Di sini saya berbicara mengenai berani melakukan pembimbingan dengan pembimbing, apapun yang pembimbing katakan pada kita mengenai “jawaban” yang kita berikan. Jangan pernah gentar menghadapi pembimbing yang super “perhatian” pada kita, maksudnya dicereweti pembimbing. Jangan pernah menyerah untuk tidak lagi berkonsultasi dengan pembimbing. Jangan pernah berhenti untuk menyelesakan studi hanya karena takut menghadap pembimbing. Dianggap tak bisa apa-apa, dianggap bodoh, dianggap sebelah mata oleh pembimbing, acuhkan saja. Pembimbingan harus jalan terus, abaikan semua anggapan negatif terhadap diri kita oleh pembimbing. Itu adalah resiko yang memang harus kita terima sebagai bimbingan yang memang kemampuannya jauh di bawah pembimbing.
Mahasiswa undergraduate (D3, D4, S1) maupun graduate (S2 dan S3) pasti akan menulis laporan ilmiah, skripsi, thesis, disertasi atau membuat manuscript untuk publikasi di jurnal. Untuk menyelesaikan ini semua butuh pembimbing untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Ada pembimbing yang super duper baik hati dan kita akan nyaman untuk berkonsultasi dengan pembimbing tipe ini. Tapi ada juga pembimbing yang super “killer”. Mengetuk pintu ruangnya saja butuh kekuatan ekstra. Mendengar suaranya saja seperti mendengar halilintar menggelegar di siang bolong. Membuka email darinya saja jantung sudah berdegub kencang, deg… deg … deg…. Pokoknya menakutkan. Nah kalau hal ini berkelanjutan, bisa-bisa semuanya tak akan terwujud dan akhirnya studi terhambat, bahkan bisa jadi studi tidak selesai. Jangan sampai terjadi.

Ketika menulis thesis pada saat studi S2 saya mendapat pembimbing yang baik. Beliau mau menunggu saya membaca hasil koreksian langsung beliau di ruangnya. Jika ada yang tidak dimengerti saya dipersilahkan langsung bertanya saat itu juga. Pembimbing seperti ini idaman semua bimbingan. Sekolah lancar, thesis selesai, ijazah diperoleh, Alhamdulillah.

Pembimbing saat ini ketika menempuh S3 juga baik. Beliau sangat sabar dalam membimbing saya, mahasiswanya yang sangat minim dalam pengetahuan “molecular nutrition”, menulis dengan “Indonesian style” yang penuh kata-kata tak bermakna, dan bahasa Inggris yang “amburadul”.

Pembimbingan dengan beliau dilakukan melalui email. Sangat jarang berhadapan langsung dengan beliau. Sebetulnya konsultasi dengan “model” seperti ini banyak keuntungannya. Pertama, akan lebih mudah memahami apa yang disampaikan oleh beliau, karena email bisa dibaca berulang-ulang, dibandingkan mendengarkan langsung apa yang disampaikan. Kedua, bisa menanyakan, menjawab, atau menyampaikan sesuatu dengan kata-kata yang telah disusun secara rapi dalam bahasa Inggris yang benar.

“Perhatian”pertama pembimbing yang melekat ke “seluruh jiwa dan raga serta perasaan” adalah ketika beliau berkata, “saya tidak bisa menuliskan apapun di progress report, karena kamu banyak duduk daripada experiment. Perhatian selanjutnya yang membuat “down” ketika beliau berkata, “kamu tidak dapat melanjutkan S3 jika kamu tidak ahli dalam melakukan eksperiment menggunakan alat ini”. Makjleb……

Saya melakukan pembimbingan yang sangat intensif ketika menulis manuscript untuk dimasukkan ke jurnal. Pembimbingan dilakukan setahun lebih dari 7 November 2016 ketika diminta pertama kali untuk menulis manuscript. Submited pertama ke jurnal pada 26 October 2017. Revised pertama dikirim pada 25 Desember 2017 dan revised kedua dikirim 12 January 2018. Dan akhirnya terima berita bahwa manuscript diaccepted pada 25 January 2018.

Banyak suka dan duka selama melakukan pembimbingan, yang kalau diceritakan akan menghabiskan berlembar-lembar kertas. Saya merasa pembimbing tidak suka dengan saya, baper baper baper…… Ini dapat saya rasakan melalui respon-respon yang beliau tulis pada email ketika menanggapi jawaban saya.

1. Beliau selalu membandingkan saya dengan mahasiswa lain yang tingkatnya lebih rendah dari saya. Jelasnya begini, “mahasisiwa S1 saja tahu, masa kamu yang S3 tidak tahu”. Hmmmmmm.

2. Karena kemampuan bahasa Inggris saya “nol”, maka sering sekali kometar beliau berkaitan dengan ini.  Yang paling sering adalah ketika saya membuat kalimat tidak ada verb nya. Beliau bilang, “mana verbnya? ha ha ha ha ha ha, verbnya sembunyi di bawah selimut sensei. Dan yang lain…… saya tidak bisa membedakan antara past tense dengan present tense ketika menuliskan hasil penelitian dengan kenyataan. Pembimbing sampai menulis secara rinci, begini isinya: 
You seem to confuse "past tense" and "present tense". 
To indicate the results (facts), "past tense" must be used. 
To indicate the truth, "present sense" must be used. 
Parah kan……

3. Beliau kadang tidak mengerti apa yang saya tulis, karena yang ditulis di luar konteks. Parah juga ini…… karena sebenarnya saya tidak tahu apa yang harus dibahas, sensei………

4. Beliau selalu bilang bahwa ketika menulis pembahasan saya kebanyakan “berspekulasi” karena tidak adanya data. Saya sering menghubungkan suatu data dengan fenomena yang ada tanpa didukung oleh data……. Nah ini “Indonesia style”, banget, ngomong berbusa-busa tanpa dukungan data. ha ha ha……

5. Beliau bilang, “mana pembahasannya, hanya pustaka saja isinya  “what do you want to discuss”. Ini karena kerajinan cari jurnal…….

6. Pembimbing harus punya sifat teliti dan pembimbing saya orang yang sangat teliti. Tidak ada titik atau kurang koma saja beliau tahu. Sedangkan saya orangnya tidak teliti. Pembimbing sampai bilang, “Please check other statistical results also by your own eyes, very carefully”. Maaf sensei, maaf……..

7. Karena bersemangatnya menulis, sampai kadang-kadang dalam selang waktu sehari saya sudah mengirim lagi jawaban ke pembimbing dan pembimbing bilang: “It is difficult for you to revise the manuscript within a couple of days. Please send me your revised manuscript at more than one week intervals”.  

8. Jika pembimbing merasa pengetahuan dasar “molecular nutrition” saya “cetek” banget maka beliau akan mengatakan “You have to keep in mind”, dengan memberikan penjelasannya secara rinci. Ohhh sensei baiknya engkau……

9. Pernah pembimbing merevisi pembahasan pada manuscript sampai 17 item yang harus diperbaiki. Wah ini rasanya kepala serasa mau pecah melihat begitu banyak strip biru. Apakah bisa melakukannya. Harus dengan keyakinan yang besar, bahwa diri ini bisa. Dan akhirnya memang bisa dengan usaha extra keras. Jangan menyerah jangan menyerah jangan menyerah……..lakukan lakukan lakukan…… kamu bisa kamu bisa kamu bisa.

Sembilan cerita di atas hanya 20% dari pembimbingan yang panjang selama 1 tahun lebih.  Antara lanjut dan menyerah, antara sanggup dan tak mampu, antara doa dan ikhtiar, antara usaha dan upaya.

Setiap kali akan mengirim email jawaban ke pembimbing selalu deg deg deg-an. Apakah tulisan saya sudah benar. Apakah sudah sesuai dengan harapan pembimbing. Bolak balik baca lagi emailnya sebelum dikirim. Lalu putuskan, kirim, dengan diawali membaca “basmallah”.

Sama…… setiap kali ada email dari pembimbing, selalu deg deg deg-an. Respon seperti apa yang beliau berikan atas jawaban yang disampaikan. Apakah menyenangkan ataukah menakutkan. Email tetap harus dibuka dan dibaca dengan diawali baca “basmalah” juga agar menerima dengan “lapang dada” apapun respon yang diberikan oleh pembimbing.

Ketika ada berita bahwa manuscript telah diterima untuk diterbitkan oleh jurnal, maka saya kirim email ke pembimbing. Saya mengucapkan terima kasih karena beliau telah membimbing saya dalam menulis manuscript, tanpa bantuan beliau manuscript ini tidak akan pernah terwujud.  Diluar dugaan saya, beliau ternyata merespon email saya dan mengatakan: “congratulation”, “I am proud of your enormous effort”. Oh…… tak menyangka akan mendapat pujian tersebut dari pembimbing. Ternyata saya telah salah menyatakan bahwa pembimbing tidak suka dengan saya.  Padahal memang seharusnya begitu, pembimbing harus bertindak sebagai “musuh” bagi kita bimbingannya. Pembimbing harus bersikap keras supaya kita tahu bahwa kita salah, bahwa kita tidak tahu, bahwa kita tidak mampu, bahwa kita bodoh, bahwa kita lalai, dsb. Kalau pembimbing terlalu lunak kepada bimbingannya maka kita sebagai bimbingan bisa lalai, tidak ada usaha yang maksimal untuk menyelesaikan segala sesuatu tepat waktu.

Perjalanan masih panjang...... mari selalu bersemangat untuk melakukan yang terbaik.

Doumo arigatou Gozaimasu, sensei






Comments

Popular posts from this blog

Informasi Dibalik Indahnya Sebuah “Kemasan Beras Jepang”

Fermented Seasoning, meng"khas"kan masakan Jepang

Fermented Food ala Jepang dan Indonesia